1. A. Masa
pemerintahan orde lama
Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan PresidenSoekarno di Indonesia.Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesiamenggunakan
bergantian sistem
ekonomi liberal dan sistem
ekonomi komando.Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiaden
Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno
sebagai Presiden dan Mohammad Hattasebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi
yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat
dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri
dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan
Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang
ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan
Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah
tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan
demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga
terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7
Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan,
pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April
1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara
lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik,
PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus
1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol
tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum
dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka
diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang
menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
Secara umum,
hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai
Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah
pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika
hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi
politik yang berlaku pada saat itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalamPolitik
Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik menguraikan perkembangan
konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah
dalam penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik
menjadi cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi
liberal. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno
menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah
berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS
1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu
konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai
politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik
lagi ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957,
ketika Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin.
Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi
liberal yang sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free
fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik,
Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman
pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang seringkali
disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanyaÂ
telah beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda,
karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan
Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat
Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi, keduanya terlibat dalam
proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan. Pada detik-detik
menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak desakan para pemuda
untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta belum datang.
Ketika itu, Bung Karno berkata: “Saya tidak akan membacakan Proklamasi
kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung
Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah
satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks
Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun
1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus
juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang
bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno
mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu
bertanggung jawab, tidak dapat diganggu gugat, serta menggalang
kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan lawan-lawan politik yang tidak
setuju dengan gagasannya. Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah pemilihan
umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin pada tanggal
21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana
Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya
berisi:
1. Sistem Demokrasi Parlementer secara
Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti
dengan Demokrasi Terpimpin.
2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk
suatu kabinet gotong royong yang angotanya terdiri dari semua partai dan
organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi
Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan Kabinet Kaki Empat yang
mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama
(NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk
menciptakan kegotongroyongan nasional.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari
golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas
utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak
diminta.
Dengan konsep
yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai
meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi,
ia tidak dapat menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih
sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga
negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas
semua itu, dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi yang
benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini adalah sebuah contradictio in
terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain
duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap
Soekarno, sahabat seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak
berubah sikap. Sebaliknya, Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan
pandangan sikap dan pendapat Soekarno.
Mohammad Hatta telah mengundurkan diri
sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno menyampaikan konsep Demokrasi
Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956, Mohammad Hatta
mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada DPR hasil
Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan
Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta
sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri Mohammad Hatta dari posisi
Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi putus.
Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan yang telah mereka jalin
sejak lama.
Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan
Presiden. Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti
dengan gejolak politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar.
Perbedaan pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan
pendekatan Mohammad Hatta yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola
Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan
itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi
belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai sehingga pembangunan
ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran
Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta
aktif kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas “Masalah
Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan
mosi mengenai “Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian
menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari “bentuk
kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957
dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja.
Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan
sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia
Merdeka, 1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil
Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga
seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta telah
menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan Presiden,
padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu
Presiden? serta dapat menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan. Fenomena
ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik ketatanegaraan yang
berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada masa ini, Wakil
Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan
perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober
1945; Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang;
Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik;
dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949
dan UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan
Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem parlementer. Jika
keadaan ini dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya
untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil
Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian
jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep
Dwitunggal, maka tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baruyang terdiri dari sistem parlemen di
mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen
atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan
sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih
negara sekuler yang
berdasarkan Pancasila sementara
beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang
yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai
sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarnosecara unilateral membangkitkan kembali konstitusi
1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar,
dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di
bawah label “Demokrasi Terpimpin“. Dia juga
menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang
didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi
resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Baratpada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak
menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan
awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara
komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di
dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada
partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah
“rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan
pembentukan Federasi Malaysia, hal ini
dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan
memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi
perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota
tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden
Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB
pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB danGANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian
mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu
oleh Inggris).
Nasib Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan
terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri
dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan
Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian
pada 18 Desember sebelum
kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan
1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan
perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada
Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno
untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno,
memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi
militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI.
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI.
Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih
dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah
korban jiwa pada1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah
terjadi di Jawadan Bali.
1. B. Masa
pemerintahan orde baru
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada
Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah
mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan
berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang
yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan
dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada masa
Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program
politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali
dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus
nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan
masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.
2. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus
mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir
sebagai lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara pemerintah dan partai-partai politik
dan masyarakat.
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli
1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari
1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada
Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret
1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi
Gerakan Pemuda Ansor.
Luapan kegembiraan itu tercermin dalam
Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat
membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI
dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan
berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan
kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti
diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya
perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai melancarkan
siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30 S/PKI dan
penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan demikian,
diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta,
23-28 Oktober 1967. hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26
wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula
menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden
Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil
Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh.
Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat
untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu,
pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1)
penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan
politik gerakan. Penegasan Politik GerakanDalam kongres ini juga merumuskan
Penegasan Politik Gerakan sbb:
(1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi
komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan
totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan
kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen;
(2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;
(3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan
dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu
dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat
itu. Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya.
Memang begitulah yang dilakukan kongres. Perkara politik itu pula-lah yang
paling menonjol dalam kongres VII tersebut.
Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan:
Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI
yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor
menghadapinya secara kritis dan korektif. Sedangkan yang bermotif terror,
GP.Ansor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di
dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang
dikenal dengan operasi Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim
telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi
tersebut. Ansor ikut operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut
bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang
bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak
kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi
yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau
mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin
Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu
tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance,
bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul
authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di
salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke
arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum
militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah
ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael Edwards. Masalah
Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan pola kerukunan
antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945 yang menjamin
toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi
daerah serta perasaan penganut agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena,
pada waktu itu pertentangan agama sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik
telah terjadi di mana-mana. Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai
Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras pada waktu itu adalah mendirikan
Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu
dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula yang
terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan
ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam. Dalam Kongres VII juga
menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi.
Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen terhadap
ideology Pancasila.
1. C. Masa
Reformasi
Mundurnya
Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian
digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran
pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan
bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde
Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan
demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak
bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang
mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang
sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan
pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama
dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan.
Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua,
menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P.
Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki
urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai
Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun
lain nyatanya.
Pemerintahan B.J Habibie
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh
gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di
kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang. Masa
pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie
juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan
berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah
tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang
Pamungkas danMuchtar
Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat.
Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan
beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie
membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa
diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan
meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa
dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang olehMahkamah
Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena
terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol,
pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi.
Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung
dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang
menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie
adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah
tersebut dari Indonesia pada
Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata
masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap
sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah
kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dariDana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi.
Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat
tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh
lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding
masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa
rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini
menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang
tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik,
bukan rakyat.
Pemeintahan Abdurahman Wahid.
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999.PDI Perjuangan pimpinan
putri Soekarno, Megawati Sukarnoputrikeluar menjadi
pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu
sebelumnya) memperoleh 22%;Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada
Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan
Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk
kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshufflekabinetnya
pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan
ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang
terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar
agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang
tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor
Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang
besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan
Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati soekarno putri
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan
laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan
meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam
skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan
koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang
memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati.
Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota
legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan,
yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak
beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai
Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat
(Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan
Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan
JK, dengan meraih 60,95 persen.Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal
masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi
besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang
meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah
Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang
bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau
naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu
tahun 2009, kinerja mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.
Orde Lama adalah istilah yang diciptakan oleh Orde Baru.
Bung Karno sangat keberatan masa kepemimpinannya dinamai Orde Lama. BK lebih
suka dengan nama Orde Revolusi. Tapi BK tak berkutik karena menjadi tahanan
rumah (oleh pemerintahan militer Orde Baru) di Wisma Yaso (sekarang jadi Museum
TNI Satria Mandala Jl. Gatot Subroto Jakarta).
Karena pertanyaan anda spektrumnya sangat luas; saya akan membatasi pada masalah pemanfaatan kekayaan alam.
Konsep BK tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah dia tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan anak cucu kita di masa depan. Biarlah anak cucu kita yang menikmati jika mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin BK, meski RI hidup miskin, tapi BK tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa BK juga amat minim.
Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan BK. Ibarat rumah tangga zaman Orba adalah masa kemaruk. Apa yang bisa digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah beras impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak tranparan. Jika ada orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit, dibagi menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang tertentu (kroni) secara tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa yang memprotes pemerintah Orba yang bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih pada masa Orde Baru.
Masa Reformasi adalah masa cuci piring. Pesta sudah usai. Krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar. Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati demokrasi dan kebebasan. Media masa menjadi terbuka.
Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.
Orang-orang berteriak zaman reformasi sulit, tapi nyatanya hampir tiap rumah di Indonesia sekarang punya sepeda motor. Hal yang mustahil pada masa Orba. Jadi kesimpulannya Orde Reformasi adalah fase terbaik dari bangsa Indonesia. Kita sedang berproses menjadi negara yang besar dan kuat. Kepemimpinan SBY sudah berada di rel yang benar menuju ke sana.
Catatan: Bung Karno meski ada hubungan darah tapi kepemimpinannya tidak sama dengan Ibu Megawati. BK lebih mirip Hugo Chavez, Evo Morales, atau Ahmadinejjad. BK adalah pemimpin yang bisa menumbuhkan martabat dan harga diri bangsanya. Sisi negatifnya, BK banyak dimusuhi negara lain.
Karena pertanyaan anda spektrumnya sangat luas; saya akan membatasi pada masalah pemanfaatan kekayaan alam.
Konsep BK tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah dia tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan anak cucu kita di masa depan. Biarlah anak cucu kita yang menikmati jika mereka sudah mampu dan bisa. Jadi saat dipimpin BK, meski RI hidup miskin, tapi BK tidak pernah menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan hutan pada masa BK juga amat minim.
Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan BK. Ibarat rumah tangga zaman Orba adalah masa kemaruk. Apa yang bisa digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu makan enak dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras murah, padahal sebagian adalah beras impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu, kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak tranparan. Jika ada orang mempertanyakan, diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit, dibagi menjadi kapling-kapling HPH; dibagi-bagi ke orang-orang tertentu (kroni) secara tidak transparan. Ingat fakta sejarah: Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa yang memprotes pemerintah Orba yang bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih pada masa Orde Baru.
Masa Reformasi adalah masa cuci piring. Pesta sudah usai. Krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar. Budaya korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa Presiden SBY pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati demokrasi dan kebebasan. Media masa menjadi terbuka.
Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.
Orang-orang berteriak zaman reformasi sulit, tapi nyatanya hampir tiap rumah di Indonesia sekarang punya sepeda motor. Hal yang mustahil pada masa Orba. Jadi kesimpulannya Orde Reformasi adalah fase terbaik dari bangsa Indonesia. Kita sedang berproses menjadi negara yang besar dan kuat. Kepemimpinan SBY sudah berada di rel yang benar menuju ke sana.
Catatan: Bung Karno meski ada hubungan darah tapi kepemimpinannya tidak sama dengan Ibu Megawati. BK lebih mirip Hugo Chavez, Evo Morales, atau Ahmadinejjad. BK adalah pemimpin yang bisa menumbuhkan martabat dan harga diri bangsanya. Sisi negatifnya, BK banyak dimusuhi negara lain.
Orde Baru
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam
jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik
Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik
kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988,1993, dan 1998. Salah satu kebijakan
pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB
lagi. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer. DPR dan MPRtidak berfungsi secara
efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya
mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang
secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Pemerintah Orde Baru
berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih
5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru
pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media
massa seperti radio dan televisi mendengungkan
slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang
dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari
daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke
luar Jawa, terutama keKalimantan, Sulawesi, Timor Timur,
dan Irian Jaya. Namun
dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen
anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Kondisi masyarakat pada waktu Orde Baru
banyak yang tidak puas dengan kesenjangan pembangunan terutama masyarakat Aceh
dan Papua, adanya kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran
yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun pertama selain
itu juga bertambahnya kesenjangan social yaitu perbedaan yang tidak merata bagi
si kaya dan si miskin. Dan adanya pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi
terutama masyarakat Tionghoa
Orde Lama
1950-1959 adalah era di mana
presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung
mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar,
pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara
Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian
pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah
dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem
kabinet parlementer.
Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang
baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa
membuat konstitusi baru.
Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide
untuk kembali pada UUD 1945.
Akhirnya,
Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante. Pada
masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang
tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang
mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini
lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin
Isinya
ialah:
1. Kembali berlakunya UUD 1945
dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2. Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan
sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa
Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu
Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde
Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur,
transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar
dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini
tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang
terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya
akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di
tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa.
Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan
rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jore
(secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai
wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota
MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu
diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum
tahun 1997 telah memicu munculnya kerusuhan baru yaitu konflik antar agama dan
etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum tahun 1997, meletus
kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan
Golkar secara mutlak. Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi dukungan
terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam Sidang Umum MPR
tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan masyarakat yang dimotori oleh para
mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan
Soeharto sebagai Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden
Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekanan pada
kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan kalangan
intelektual.
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.
Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan
kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang
tidak demokratis dan tidak merakyat.
Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari
masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan.
Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan
para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka
memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan
reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat
demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat
tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei
1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri.
Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan
tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden
mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet,
segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai
Presiden.
Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan
kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden
Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik
Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik
Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai
Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana Negara
1.
Soeharto muncul sebagai pahlawan yang memadamkan
pemberontakan (?) G30S, memegang supersemar dan membubarkan PKI. Seolah-olah
semua adalah tuntutan rakyat, padahal baik dari G30S sampai Tritura, semua tak
lepas dari settingan Angkatan Darat yang ingin berkuasa.
2. Soeharto berhasil meredam elemen-elemen bangsa yang menjadi oposan seperti kelompok mahasiswa angkatan 78, pers kritis, dan muslim reformis lewat berbagai cara.
3. Soeharto kemudian berhasil mengendalikan pers lewat mekanisme SIUPP, sensor, breidel dan aturan-aturan departemen penerangan.
4. Soeharto berhasil mendongkrak perekonomian Indonesia, Politik stabil dan departemen penerangan selalu memberitakan keberjasilan-keberhasilan pemerintah. alhasil rakyat menjadi simpati terhadap pemerintahan Soeharto.
5. Soeharto berhasil membangun citranya sebagai bapak pembangunan, bapak bangsa, bapak yang harus dihormati dan dipatuhi. Jika ada yang berniat melawan, aparat keamanan siap "mengamankannya"
2. Soeharto berhasil meredam elemen-elemen bangsa yang menjadi oposan seperti kelompok mahasiswa angkatan 78, pers kritis, dan muslim reformis lewat berbagai cara.
3. Soeharto kemudian berhasil mengendalikan pers lewat mekanisme SIUPP, sensor, breidel dan aturan-aturan departemen penerangan.
4. Soeharto berhasil mendongkrak perekonomian Indonesia, Politik stabil dan departemen penerangan selalu memberitakan keberjasilan-keberhasilan pemerintah. alhasil rakyat menjadi simpati terhadap pemerintahan Soeharto.
5. Soeharto berhasil membangun citranya sebagai bapak pembangunan, bapak bangsa, bapak yang harus dihormati dan dipatuhi. Jika ada yang berniat melawan, aparat keamanan siap "mengamankannya"
No comments:
Post a Comment